Berikut ini adalah, jawaban, ummmm mungkin lebih tepat jika disebut komentar akan posting blog pak Budi Rahardjo beberapa waktu yang lalu tentang "kebingungan seorang dosen". quote disini merupakan potongan posting pak Budi, komentarsaya berikan dalam bentuk tulisan biasa.
Akhir kata, semua komentar diatas adalah komentar pribadi yang mungkin beberapa diantaranya sedikit nakal. maaf kalau ada yang tersinggung. pareng!
Bahwa bertanya itu bukan aib, dan bahkan cenderung baik. Atau, bertanya itu merupakan cerminan kelemahan! Ayo belajar lebih baik! (Saya mengutarakan hal ini karena saya temui bahwa mahasiswa saya takut bertanya. Ketika saya kejar lebih jauh, ternyata mereka tidak diajarkan untuk bertanya ketika masih SMA oleh guru dan oleh teman-temannya. Akibatnya mereka menjadi malu dan tertekan kalau bertanya.)Ya, bapak benar, mungkin generasi yang bapak ajar sekarang ini memang generasi yang tidak dibiasakan dan dibudayakan untuk bertanya didalam kelas. kalau boleh membela diri jangan (cuma) salahkan kami, tapi salahkan juga guru-guru kami di SD hingga SMU karena tidak membudayakan bertanya didalam kelas. untuk teman-teman saya rasa mereka mendapat budaya "malu bertanya" seperti yang saya dapatkan. kalau bapak menyalahkan teman-temannya, kalau posting ini dibaca teman saya berarti saya juga ikut salah dong
Bahwa kegagalan (mendapat nilai buruk, tidak naik kelas, tidak lulus ujian) itu bukanlah sebuah aib. Ataukah, nilai buruk itu memang aib dan tidak boleh terjadi? (Poin ini muncul karena ada mahasiswa yang merasa bahwa dia harus sukses terus sehingga menghalalkan segala cara, termasuk nyontek dan menipu.)Bukan kami yang membuat nilai semacam itu pak, tapi orang-orang tua dan lingkungan kami. Inilah salah satu dampak buruk sistem ranking. di sekolah ada ranking dikuliah kita sering menggantikannya dengan IPK. mungkin pernyataan simple nya seperti ini "peduli amat gimana caranya, mau nyontek kek, mau copy paste kek, yang penting nilai gw bagus". kalau ada yang tanya tentang kualitas "peduli amat sama kualitas, emang pemerintah (lewat pejabat-pejabat dibagian pendidikan itu) pernah bener-bener care sama kualitas pendidikan kita? program yang mereka buat itu cuma omong kosong"(teriring maaf untuk pejabat dan pemerhati pendidikan yang benar-benar care terhadap pendidikan dan benar-benar berjuang sepenuh hati untuk memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, saya yakin anda-anda ada). lebih jauh lagi "bukankah dosen-dosen kita dulu juga melakukan hal yang sama?"
Bahwa nyontek itu buruk, maka mahasiswa sebaiknya tidak nyontek. Atau, nyontek itu boleh saja selama hasil contekannya lebih baik daripada yang dicontek. Saya jadi teringat peribahasa ini; “Good artists copy. Great artists steal.”Saya justru baru kepikiran, bukankah lebih baik steal daripada copy pak? kalau steal, berarti kita tanya kanan kiri mengumpulkan ilham terus kita masak sendiri dan kita tulis jawaban menurut versi kita sendiri, not just copying it
Bahwa kepercayaan (trust) merupakan nilai utama (core value) bagi perguruan tinggi. Ataukah kerja keras (hardwork). Atau, cerdas (work smarter). Atau …saya rasa semuanya core value pak. "lho nggak bisa, namanya core ya satu?" mungkin bapak menyanggah demikian. ok, kalau satu menurut saya yang menjadi core value adalah kejujuran(honesty) dan dari kejujuran itu akan timbul trust secara otomatis(keliatannya sih....). Kerja keras adalah sesuatu yang harus dibiasakan sedangkan cerdas saya rasa berian-Nya. dalam pengertian saya cerdas berbeda dengan pintar, pintar dapat dicari tetapi cerdas diberi oleh-Nya. kecerdasan memang bisa dikembangkan, tetapi modal setiap orang tetap berbeda-beda. Dosen Wali saya sering mengingatkan, intinya seperti ini : "semasa anda kuliah, jangan cuma IQ saja yang anda kembangkan. kuliah (dikelas plus tugas dan lain sebagainya) diharapkan akan mengembangkan kemampuan analitis dan cara berpikir anda. Ada Kecerdasan lain yang harus and kembangkan juga selama kuliah yaitu Emotional Quotient dengan aktif di organisasi(disini penjelasannya panjang lebar), dan tentunya yang tidak boleh dilupakan SQ"
Bahwa sebaiknya kita menggunakan teknologi untuk mengatasi kelemahan-kelemahan kita (sehingga nanti banyak digunakan teknologi di kampus).Saya belum mudheng(paham) tentang yang satu ini pak. maksud kelemahan disini bagaimana? dan teknologi yang dimaksud akan digunakan dikampus itu yang seperti apa)
Lulusan perguruan tinggi sebaiknya menghasilkan lapangan pekerjaan, menjadi entrepreneur (technopreneur). Atau, lulusan perguruan tinggi sebaiknya menjadi profesional. Atau, lulusan perguruan tinggi diarahkan untuk menjadi peneliti (researcher) dan mencoba meraih hadiah Nobel.Lulusan perguruan tinggi sebaiknya berkarya sesuai dengan gawan bayi(bawaan bayi nya). tidak semua orang bisa jadi pengusaha, tetapi tidak semua orang juga bisa jadi peneliti, bukankah akan lebih indah kalau lulusan sebuah universitas bisa berada diberbagai bidang.
Lulusan jurusan teknik sebaiknya juga mengetahui masalah sosial, ekonomi, dan politik sehingga mereka bisa menjadi seorang insinyur yang peka terhadap masalah sosial, ekonomi, dan politik. Atau, sebaiknya insinyur tidak usah turut campur soal politik. Fokuskan saja kepada bidang ilmunya.Pasti. Dunia nyata tidak mengijinkan seorang teknisi atau mungkin lebih keren disebut engineer, bekerja hanya dengan engineer. Kedua, katakanlah engineer tersebut ingin menjadi enterpreneur, bukakah secara pasti dia harus mengetahui kondisi lingkungan, baik ekonomi, politik, sosial dan lain sebagainya dan mengerti bagaimana cara menyikapinya? sekalian titip, orang-orang sosial seharusnya juga diberi bekal ilmu dasar(matematika, logika dsb) yang kuat, yang saya dapati orang-orang sosial ilmu dasarnya lemah, atau mungkin justru disengaja? jadi untuk yang malas ngitung, berhubungan dengan angka, masuklah ke jurusan sosial. apakah memang begitu? tapi tetap harus diingat untuk menguasai bidang ilmunya dengan baik
Saya tidak tahu apakah nilai-nilai tersebut perlu dituliskan secara eksplisit atau tidak. Apakah juga setiap perguruan tinggi bisa memiliki fokus (tema, aliran, madzhab) yang berbeda-beda? Dalam pemahaman saya, seharusnya ya. Saya bisa melihat ciri dari lulusan sebuah perguruan tinggi X dari cara dia berbicara, berpendapat, dan seterusnya. Nilai yang diajarkan oleh perguruan tingginya tercermin dalam lulusannya.Mungkin ini bisa ditulis dalam posting lain pak, saya jadi penasaran. apa lulusan kampus saya juga bisa pak budi kenali?;-)
Sebagai seorang dosen, saya menjadi bingung dengan arahan yang seharusnya saya ambil. Apakah perguruan tinggi hanya menjadi seperti pujasera dimana setiap dosen dapat melakukan apa saja sesukanya tanpa ada koordinasi (arahan, tema, fokus, dsb.)?Nggak usah bingung pak. Kalau boleh sedikit memberi masukan mulai tanamkan nilai-nilai itu sejak awal pada kelas-kelas bapak. beberapa nilai, seperti kerja keras dan (mungkin) trust tidak perlu diucapkan sebagai nasehat kepada mahasiswa didalam kelas, tapi berikan contoh, teladan dan lakukan keteladanan itu dengan konsisten. jujur saya sebagai mahasiswa bosan pak(entah kalau mahasiswa pak budi tidak). Selanjutnya pak Budi bisa membuat semacam gerakan bersama dengan sahabat-sahabat pak budi sesama dosen. kalau boleh mengutip istilah dalam film "Meet The Fockers" ada trust circle(lingkaran kepercayaan). buat lingkaran itu, masukkan beberapa orang didalamnya yang saling mempercayai, saling mendukung, dan saling mengingatkan untuk menanamkan Nilai(-nilai) yang telah disepakati bersama. Kesepakatan atas nilai yang ingin ditanamkan penting karena tindakan yang akan dilakukan berdasarkan lingkaran ini tidak akan membuahkan hasil dalam sehari dua hari, seminggu dua minggu. mungkin tahunan. Itulah mengapa saya menyarankan membuat trust circle dengan sahabat, karena biasanya visinya sama, ya at least mirip-mirip
Dalam pemahaman saya, seharusnya ada seseorang yang mengambil posisi sebagai pimpinan (take leadership) untuk mengarahkan kebingungan ini. Sayangnya di Indonesia kita makin kehilangan figur yang bisa dijadikan rujukan atau mengarahkan.Itu Utopia Indonesia pak. dan secara tidak langsung kalau menunggu seseorang itu untuk muncul, berarti kita menunggu untuk bergerak. keburu basi pak.
Saat ini kita seperti orang yang kumpul rame-rame ingin menuju kepada sesuatu, akan tetapi tidak jelas sesuatu itu apa. Ada yang menuju Jakarta. Ada yang menuju Bandung. Ada yang menuju Surabaya. Dan bahkan ada yang menuju ke Singapura.Bukankah jelas pak. Jakarta kota metropolitan(semua ada disana), Bandung kota mode, Surabaya kota Industri(mungkin), singapura kota dagang dan tempat shopping paling asyik(katanya). mungkin yang belum jelas apa yang ingin kita lakukan ketika sampai di sesuatu(tempat itu) atau kita telah meraih sesuatu. dan itu yang harus sama-sama kita cari
Akhir kata, semua komentar diatas adalah komentar pribadi yang mungkin beberapa diantaranya sedikit nakal. maaf kalau ada yang tersinggung. pareng!
No comments:
Post a Comment